Selasa, 05 Agustus 2014

ULIL DENGAN LIBERALISMENYA

0 komentar
di copy dr tulisan gusdur

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul
Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang
santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri
budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya
sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang.
Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua
hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya,
yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah
profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang
akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang
“menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia
dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang
mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap
“aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan
liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya,
adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan”
berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga
meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan
“kebenaran” Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang
baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah
sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap
pemikirannya ini. Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan
bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan
ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan
hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak
mengerti maksud penulis sebenarnya. Sehingga KH. Syukron
Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan)
mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang
bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu,
menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat
pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat
adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan
disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab
al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan
salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan
perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu
dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim.
Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para
syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda
perkenalan“ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan
“selamat pagi yang cerah” (shabah al-nur). Kurangnya
pengetahuan kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk
sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan
Ulil sekarang, adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.
*****
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar
terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin
menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah
seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir
adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya
akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak
ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya
ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan“ (walâ yabqâ illâ wajhuh), dan yakin
akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang
Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak
dapat mengubah kenyataan ini. Seorang muslim yang
menyatakan bahwa Ulil anti muslim, akan terkena sabda Nabi
Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara
yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (man kaffara akhâhu
musliman fahuwa kâfirun).
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros),
yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam.
Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja oleh
mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan.
Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham
sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba akal
“ahl al-aqli” (kaum rasionalisme) dalam Islam memang sangat
lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang oleh
paham yang menerima “sumber intuisi” (ahl al-dzauq), seperti
dikemukakan oleh al-Jabiri dari Universitas Yar’muk di Yordania.
Sumber ketiga ini, diusung oleh al-Imam al-Ghazali dalam magnum
opus (karya besar), “Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih
diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan
tinggi di seantero dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena
ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam
kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menyatakan
“Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini”
(alyauma akmaltu lakum dînakum)(QS al-Maidah(5):4) dan
“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh” (udkhulû
fî al-silmi kâffah)(QS al-Baqarah(2):128), maka seolah-olah
jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan
kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip
kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang
kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena
pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan
agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah
kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah
tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan
Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme
dalam Islam.
Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui
kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja
ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri
Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa
ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut?
Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum
di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai
jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga,
ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka
sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan
itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja
menjadi motif yang diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami
Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan
“membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa
depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran
seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan
sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih
mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka
dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau
cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan
pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan
di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat “ (ikhtilâf
al-a’immah rahmah al-ummah).
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil
“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan
kepada dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir
bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya
akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang
seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti
oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat
kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya
dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak
kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang
sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin
menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan
kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian
berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang
saat ini sedang menghingapi dunia Islam. Pilihan yang
kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan bukan?                                                                                                                                                           sumber:ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA
Read more ►

Sabtu, 12 Oktober 2013

TERORISME HARUS DILAWAN

0 komentar

TERORISME HARUS DILAWAN


Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir
bersamaan di Denpasar, Bali. Lebih dari 180 orang menjadi
korban, termasuk sangat banyak orang yang mati seketika.
Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tindakan teror yang
selama belasan bulan ini menggetarkan perasaan kita sebagai
warga masyarakat. Penulis berkali-kali meminta agar pihak keamanan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk mengambil langkah-
langkah preventif, antara lain menahan orang-orang yang
keluyuran di negeri kita membawa senjata tajam, membuat bombom
rakitan, memproduksi senjata-senjata yang banyak ragamnya.
Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti-bukti
legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap
mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang
kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif
dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif,
kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan
penangkapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya
rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehidupan
sehari-hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan
oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat melakukan
tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik
kita yang sekarang, karena banyak sekali pelanggaran politik
dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah.
Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap
hal-hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hukum
terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk
“menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud
(Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di
Binjai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka melakukan
tindakan “netralisasi” terhadap langkah-langkah hukum, karena
para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para
perwira AD dan Polri melakukan dukungan (backing) bagi kelompok-
kelompok pelaksana perjudian dan pengedar narkoba, tanpa
ada tindakan hukum apapun terhadap orang-orang itu.
Masalah yang timbul kemudian, adalah bagaimana mereka
dapat mencegah kelompok-kelompok lain untuk mempersiapkan
tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga asing. Sikap
tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehingga tidak ada
pihak keamanan yang berani bertindak terhadap kelompokkelompok
seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan yang bersih,
dapat dimengerti keengganan mereka melakukan tindakan
preventif, karena akan berarti kemungkinan berhadapan dengan
atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini berlakulah
pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Inilah
apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi tidak usah heran jika hal
itu terjadi, bahkan yang harus diherankan, mengapakah hal ini
baru terjadi sekarang.
Salah satu tanda dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah
hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan pihakpihak
teroris dan preman sendiri. Seolah-olah mereka mendapatkan
kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena kemanapun
ke-premanan mereka ditutupi. Bahkan ada benggolan
preman yang berpidato di depan agamawan, seolah-olah dia lepas dari hukum-hukum sebab-akibat. Herankah kita jika
orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan
preventif? Padahal hakikat tindakan itu adalah mencegah
dilakukannya langkah-langkah melanggar hukum, dengan
terciptanya rasa malu pada diri calon-calon pelanggar
kedaulatan hukum.
Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau teroris,
herankah kita jika ada pihak keamanan yang justru takut dan
bukannya melawan mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya
menerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah-olah
pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat serius
dalam kehidupan bermasyarakat kita, kesalahan sikap ini ditutup-
tutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Serikat-lah
yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan hal-hal di
atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central
Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam,
namun masing-masing pihak tidak perlu saling menunggu. Inilah
prinsip yang harus dilakukan.
Memang setelah bertahun-tahun, hal semacam ini baru dapat
diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna
memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar-benar tangguh.
Sudah tentu, sebuah kebijakan harus benar-benar sesuai
dengan kebutuhan yang ada, dalam hal ini keperluan akan tindakan-
tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti
di Bali itu. Karenanya tindakan preventif harus diutamakan, guna
menghindarkan vakum kekuasaan keamanan terlalu lama. Kebutuhan
itu megharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi
kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat
berakibat semakin beraninya pihak-pihak yang melakukan
destabilisasi di negeri kita.
Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan
secara simultan (bersama-sama). Pertama, harus dilakukan upaya
nyata untuk menghentikan KKN oleh birokrasi negara. Dengan
adanya KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas secara adil, jujur dan sesuai dengan undang-undang yang
ada. Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara
di muka undang-undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN
masih ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di
lingkungan sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi
penegakan demokrasi di negeri kita.
Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita
tidak dapat membuat istana di awang-awang, melainkan atas
kenyataan yang ada di bumi Indoesia. Karena itulah, dalam sebuah
surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis
mengatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam masalah
perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan
pinjaman mereka pada bank-bank pemerintah, asalkan uang hasil
pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha
kecil dan menengah (UKM). Soal-soal pidana menjadi tanggung
jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik
oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa
terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk
tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan
kembali ekonomi nasional kita.

sumber ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA
Read more ►

PIDATO KEMANUSIAAN

0 komentar

PIDATO KEMANUSIAAN

Penekanan al-hajj ‘Arafah adalah
pada pidato perikemanusiaan sejagat,
yang isinya mengajak kita
untuk menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia. Meski pada saat itu
Nabi sudah mulai kena sakit sehingga
menyebabkan beliau wafat,
namun beliau tetap mengambil
kesempatan untuk berpidato. Salah
satu isi pidatonya adalah mengenai
hak orang-orang yang dipekerjakan
(buruh).
Wahai manusia ingatlah Allah?
Ingatlah Allah berkenaan dengan
agamamu dan amanat-amanatmu.
Ingatlah Allah! Ingatlah Allah
berkenaan dengan orang yang kamu
kuasai dengan tanganmu.
Kita tahu bahwa maksud “orang
yang kamu kuasai dengan tanganmu”
dalam pidato Nabi tersebut
adalah buruh yang bekerja pada kita,
yang dulu disebut budak. Mengenai
perlakuan terhadap para buruh
ini selanjutnya Nabi berpesan
kepada kita.
“Kamu harus
memberi makan
kepada mereka
seperti yang kamu
makan. Kamu harus memberi
pakaian kepada mereka seperti yang
kamu pakai. Dan kamu tidak boleh
membebani mereka dengan sesuatu
yang mereka tidak sanggup mengerjakan.
Mengapa, sebab mereka
itu adalah daging, darah, dan makhluk
seperti kamu.”
Lalu beliau juga mengatakan
dengan nada ancaman,
“Ingatlah, barangsiapa berbuat
zalim terhadap buruhnya, kepada
pembantunya, maka akulah musuh
mereka di Hari Kiamat dan Allah
menjadi hukumnya.”
Jadi, semangat pidato ‘Arafah itu
betul-betul menekankan nilai-nilai
persamaan manusia. Bahkan ketika
Rasulullah pulang, beliau rupanya
masih merasa khawatir, janganjangan
pidatonya di ‘Arafah itu
masih belum didengar oleh semua
orang, sehingga di sebuah tempat
namanya Khum, sebuah tempat
kecil sebelah utara Makkah, yang
kemudian disebut Ghadir Khum,
persimpangan jalan Khum, beliau
kumpulkan lagi para Sahabatnya,
padahal para sahabatnya itu sebagian
sudah pergi ke tempatnya masing-
masing. Lalu beliau pidatolagi, itulah yang kemudian disebut
“Pidato Ghadir Khum”. Nah, mengenai
hal ini memang ada sedikit
kontroversi. Menurut orang Syî’ah,
Nabi berdiri bersama ‘Ali, dan
menyatakan bahwa Ali adalah calon
penggantinya. Sedangkan menurut
orang-orang Sunni tidak demikian,
melainkan Nabi menegaskan lagi
tentang apa yang telah dikemukakan
di ‘Arafah.
Dan kita harus mengaitkan konteks
di atas sebagai konsekuensi dan
kelanjutan pernyataan Allah Swt:
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan
telah Kulengkapkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Kuridhai Islam
itu menjadi agamamu (Q., 5: 3).
Suatu pernyataan bahwa ajaran
Islam sudah lengkap, sudah sempurna,
dan itu adalah ayat yang
terakhir turun kepada Nabi
Muhamamd Saw. yang sebelum
Nabi menerima ayat tersebut, Nabi
banyak mengajak semua umat
manusia untuk menghormati dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
universal.
Sebuah hadis mengatakan bahwa
yang paling banyak menyebabkan
manusia masuk surga adalah
“takwa” kepada Allah Swt. dan
“budi pekerti luhur”. Berkaitan
dengan Sabda Nabi tersebut, dalam
Al-Quran ada ilustrasi menarik
tentang kehidupan orang-orang di
akhirat. Di akhirat itu, umat manusia
terbagi menjadi dua bagian.
Sebagian masuk surga, sebagian lagi
masuk neraka. Mereka yang waktu
hidup di dunianya saling mengenal
mengadakan komunikasi dan saling
bertegur-sapa. Mereka yang masuk
surga menegur kelompok yang
masuk neraka, tentunya karena
yang masuk surga lebih memiliki
posisi untuk bertanya. Nah dialognya
yang direkam Al-Quran adalah
begini:
Apakah yang membawamu masuk
neraka? “Mereka menjawab: “kami
tidak termasuk golongan yang shalat,
juga tidak memberi makan kepada
orang miskin. Tetapi kami biasa
berbicara kosong dengan orang-orang
yang suka berbicara kosong” (Q., 74:
42-45).
Dari dialog tersebut kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa
mereka yang masuk ke neraka itu
adalah mereka yang menempuh
hidupnya tidak serius dan tidak
bertanggung-jawab serta maunya
hanya senang-senang. Bisa dikatakan
bahwa hidup mereka itu tidak
dilandasi oleh nilai-nilai perikemanusiaan,
sehingga surat Al-
Mâ’ûn misalnya, mengutuk orangorang
yang mengerjakan shalat, tapi tidak mempunyai rasa perikemanusiaan

sumber Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Read more ►

IKHLAS: RAHASIA TUHAN

0 komentar

IKHLAS: RAHASIA TUHAN

Setan adalah suatu kekuatan luar                                               
biasa yang selalu mengancam kita.
Yang membuat sulit kita hadapi, sesuai
ilustrasi dalam Al-Quran, adalah
bahwa setan mengetahui pekerjaan
kita sementara kita tidak
mengetahui mereka. Perbuatan jahat
yang disertai campur tangan setan
membuat perbuatan itu tampak
seperti indah, Keburukan perbuatan
mereka terbayang oleh mereka tampak
indah (Q., 9: 37). Oleh karena itu,
Nabi mengatakan, “Salah satu
indikasi kehancuran seseorang adalah
kalau dalam soal dunia, dia melihat
ke atas dan kalau dalam soal agama
dia melihat orang yang lebih rendah.”
Dan umumnya kita seperti itu. Ini
terlihat, misalnya, ketika ditegur
orang karena berbuat jahat, kita
akan mencari justifikasi dengan
menjawab bahwa ada yang lebih
jahat dari kita. Ini berarti setan
berada di dalam kita sendiri sehingga
dapat merupakan bagian
dari kedirian kita. Yang juga menarik
adalah mengenai sedekah,
“Hai orang yang beriman! Sumbangkanlah
yang baik-baik sebagian dari
penghasilanmu dari yang dikeluarkan
bumi untukmu dan bahkan janganlah
kamu niatkan menyumbangkan
yang buruk-buruk padahal kamu sendiri
tak mau menerimanya, kecuali
dengan mata tertutup dan ketahuilah
Allah Mahakaya, Maha Terpuji”
(Q., 2: 267); bahwa sedekah akan
ditolak oleh Tuhan jika berupa yang
buruk-buruk. Misalnya, ketika hendak
bersedekah baju namun memberikan
yang paling buruk, maka
secara tidak langsung sebenarnya
kita menganggap orang lain sebagai
keranjang sampah. Padahal maksud
Tuhan menyuruh bersedekah bukan
supaya Tuhan kaya, tetapi karena
kita yang perlu. Maka, Allah
mewanti agar kita tidak termasuki
setan karena, Setan mengancam
kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat keji. Allah menyediakan
pengampunan dan pahala
(keutamaan [yaitu perasaan lapang,
perasaan lega, perasaan puas dan sebagainya]—
NM) untukmu (Q., 2:
286). Artinya, kalau kita konsisten
menjalankan perintah Allah, kita
akan merasakan kelapangan.
Celakanya, setan mengetahui segala
perbuatan kita, tetapi ada satubagian yang tidak bisa ditembus oleh
setan, yaitu ikhlas. Dalam sebuah hadis
Qudsi disebutkan bahwa “ikhlas
itu adalah salah satu dari rahasia-Ku
yang Aku titipkan dalam hati orang
yang aku cintai, Malaikat tidak bisa
mengetahui ikhlas itu sehingga malaikat
tidak usah mencatat, dan setan juga
tidak bisa mengetahui keikhlasan itu
sehingga setan juga tidak bisa merusak.”
Ikhlas kemudian menjadi satusatunya
kunci agar amal kita tidak dirusak
oleh setan. ... akan kujadikan
(kejahatan) tampak indah bagi mereka
di bumi dan akan kusesatkan
mereka semua. Kecuali hamba-hamba-
Mu yang ikhlas
... (Q., 15: 40).
Ikhlas, seperti
sering dilukiskan,
adalah
apabila tangan
kanan memberi
maka tangan kiri
tidak mengetahui.
Ilustrasi
yang diberikan
Al-Quran, (Sambil berkata). Kami
memberi, (mengharapkan ridla
Allah—NM) semata; kami tidak
mengharapkan balasan dan terima
kasih dari kamu”) (Q., 76: 9).
Salah satu indikasi keikhlasan adalah
kita tidak menggerutu ketika memberi
sesuatu kepada seseorang namun
dia tidak berterima kasih.
Orang yang menerima wajib mengucap
terima kasih, dan bukan yang
memberi yang menunggu ucapan
terima kasih. Oleh karena itu disebutkan,
Dan barang siapa bersyukur
tak lain ia bersyukur kepada dirinya
sendiri (Q., 31: 12). Nabi juga
mengatakan, “Barang siapa tidak
terima kasih kepada sesama manusia,
juga tidak terima kasih kepada
Allah ”.

sumber Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Read more ►
 

Copyright © ISLAM UNTUK SEMUA Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger