Selasa, 05 Agustus 2014

ULIL DENGAN LIBERALISMENYA

0 komentar
di copy dr tulisan gusdur

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul
Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang
santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri
budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya
sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang.
Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua
hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya,
yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah
profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang
akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang
“menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia
dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang
mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap
“aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan
liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya,
adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan”
berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga
meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan
“kebenaran” Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang
baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah
sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap
pemikirannya ini. Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan
bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan
ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan
hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak
mengerti maksud penulis sebenarnya. Sehingga KH. Syukron
Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan)
mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang
bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu,
menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat
pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat
adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan
disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab
al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan
salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan
perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu
dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim.
Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para
syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda
perkenalan“ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan
“selamat pagi yang cerah” (shabah al-nur). Kurangnya
pengetahuan kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk
sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan
Ulil sekarang, adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.
*****
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar
terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin
menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah
seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir
adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya
akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak
ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya
ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan“ (walâ yabqâ illâ wajhuh), dan yakin
akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang
Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak
dapat mengubah kenyataan ini. Seorang muslim yang
menyatakan bahwa Ulil anti muslim, akan terkena sabda Nabi
Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara
yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (man kaffara akhâhu
musliman fahuwa kâfirun).
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros),
yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam.
Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja oleh
mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan.
Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham
sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba akal
“ahl al-aqli” (kaum rasionalisme) dalam Islam memang sangat
lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang oleh
paham yang menerima “sumber intuisi” (ahl al-dzauq), seperti
dikemukakan oleh al-Jabiri dari Universitas Yar’muk di Yordania.
Sumber ketiga ini, diusung oleh al-Imam al-Ghazali dalam magnum
opus (karya besar), “Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih
diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan
tinggi di seantero dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena
ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam
kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menyatakan
“Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini”
(alyauma akmaltu lakum dînakum)(QS al-Maidah(5):4) dan
“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh” (udkhulû
fî al-silmi kâffah)(QS al-Baqarah(2):128), maka seolah-olah
jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan
kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip
kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang
kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena
pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan
agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah
kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah
tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan
Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme
dalam Islam.
Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui
kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja
ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri
Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa
ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut?
Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum
di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai
jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga,
ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka
sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan
itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja
menjadi motif yang diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami
Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan
“membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa
depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran
seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan
sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih
mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka
dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau
cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan
pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan
di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat “ (ikhtilâf
al-a’immah rahmah al-ummah).
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil
“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan
kepada dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir
bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya
akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang
seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti
oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat
kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya
dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak
kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang
sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin
menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan
kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian
berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang
saat ini sedang menghingapi dunia Islam. Pilihan yang
kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan bukan?                                                                                                                                                           sumber:ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA
Read more ►
 

Copyright © ISLAM UNTUK SEMUA Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger